Dapatkah KTT COP30 di Brasil mengembalikan negosiasi iklim ke jalurnya?

48

Para pemimpin dunia bersiap untuk menghadiri konferensi iklim PBB terbaru, COP30, di Belém, Brasil, namun prospek kemajuan yang berarti nampaknya suram. Satu dekade setelah Perjanjian Paris yang penting, target 1,5°C semakin tidak tercapai, dan bahkan target 2°C yang kurang ambisius pun tampak semakin jauh. Optimisme di kalangan negosiator masih terbatas.

Lintasan Saat Ini: Krisis yang Akan Datang

Berdasarkan janji nasional saat ini (dikenal sebagai Kontribusi Nasional atau NDC), Program Lingkungan Hidup PBB memperkirakan bahwa dunia akan mengalami pemanasan sebesar 2,3 hingga 2,5°C pada akhir abad ini. Tingkat pemanasan ini membawa konsekuensi yang parah, termasuk kerusakan permanen pada lautan, hutan, dan lapisan es di kutub—yang berpotensi memicu titik kritis dengan dampak global yang semakin besar. Untuk menghindari hal ini, tindakan nyata sangat diperlukan untuk beralih dari bahan bakar fosil dan mengamankan sekitar $1,3 triliun per tahun yang dibutuhkan pada tahun 2030 untuk membantu negara-negara miskin dalam memperlambat perubahan iklim dan beradaptasi terhadap dampaknya.

Harapan yang Berkurang dan Proses Iklim yang Terpecah

Iklim politik saat ini jauh lebih menantang dibandingkan pada tahun 2015 ketika Perjanjian Paris disepakati. Manuel Pulgar-Vidal, pemimpin global iklim dan energi di WWF, menggarisbawahi ancaman kompleks terhadap diskusi iklim: “Perdebatan iklim jelas terancam, tidak hanya dari keputusan politik tetapi juga keputusan ekonomi, keuangan dan perdagangan.” KTT COP29 tahun lalu di Baku, Azerbaijan, menyoroti kesulitan-kesulitan ini, dan berakhir dengan komitmen terhadap pendanaan yang jauh dari harapan negara-negara miskin. Akibatnya, kepercayaan terhadap proses COP telah terkikis, sehingga memicu diskusi mengenai apakah model yang ada saat ini sesuai dengan tujuannya.

Hambatan Kemajuan: Geopolitik, Ekonomi, dan Pergeseran Prioritas

Beberapa faktor menghambat kemajuan. Meningkatnya ketegangan geopolitik dan perang dagang berdampak pada diplomasi iklim. Amerika Serikat, di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, secara aktif menolak tindakan iklim, menarik diri dari Perjanjian Paris dan memveto upaya membatasi bahan bakar fosil. Hal ini telah mengganggu stabilitas kerja sama internasional, seperti yang terlihat pada Organisasi Maritim Internasional yang menunda rencana pengurangan emisi pelayaran setelah Trump mengancam akan memberikan sanksi. Pada saat yang sama, pertumbuhan ekonomi yang lambat, meningkatnya biaya hidup, dan meningkatnya populisme anti-petahana membuat para pemimpin negara sulit menerapkan kebijakan ramah iklim.

Peran Brasil: Kontroversi dan Pendekatan Pragmatis

Sebagai negara tuan rumah, Brasil—dipimpin oleh Presiden Luiz Inácio Lula da Silva, yang berkampanye untuk melindungi hutan hujan—menghadapi tantangannya sendiri. Terlepas dari komitmennya, pemerintahan Lula telah menyetujui pembangunan jalan baru di Amazon dan eksplorasi minyak di lembah Amazon, serta memprioritaskan pemilu tahun depan. Keputusan untuk menyelenggarakan COP30 di Belem juga terbukti kontroversial. Terbatasnya ruang hotel mengakibatkan melonjaknya harga akomodasi, memaksa banyak LSM, diplomat, dan dunia usaha mencari penginapan alternatif seperti tenda dan kontainer pengiriman. Selain itu, pembatasan akreditasi oleh PBB menimbulkan kekhawatiran mengenai berkurangnya partisipasi masyarakat sipil, sementara lobi minyak dan gas, dengan sumber daya yang lebih besar, mungkin memiliki pengaruh yang lebih besar.

Menemukan Solusi: Koalisi dan Inisiatif Lokal

Meskipun ada banyak hambatan yang dihadapi, sejumlah tanda-tanda momentum positif mulai terlihat. Kekhawatiran tentang kurangnya kehadiran pemimpin telah diatasi dengan keputusan perjalanan di menit-menit terakhir dari tokoh-tokoh seperti Keir Starmer dari Inggris. Dengan melemahnya multilateralisme, reputasi Brasil sebagai pembangun jembatan terbukti penting dalam menyatukan proses diplomasi iklim. Kepresidenan Brasil mengambil pendekatan pragmatis, memprioritaskan implementasi perjanjian yang ada dibandingkan pernyataan besar. Alih-alih mengejar kesepakatan yang menarik perhatian, Brasil justru berupaya memfasilitasi tindakan nyata. Thomas Hale di Universitas Oxford menyarankan untuk fokus pada peningkatan aksi iklim yang dilakukan oleh kota, wilayah, dan perusahaan – “koalisi yang berkeinginan” – yang dapat mendorong kemajuan signifikan, bahkan dalam menghadapi kebuntuan global.

“Pemblokir seperti AS bisa saja tidak melakukan apa-apa, namun tindakan COP yang sebenarnya tidak akan terjadi di sana,” kata Hale. “Kami tidak akan melihat keputusan internasional di COP yang akan membawa kita maju secara radikal, namun keputusan tersebut masih dapat memberikan kerangka kerja bagi banyak inisiatif positif yang akan muncul.”

Meskipun dunia tidak mengantisipasi terobosan internasional yang besar di Belem, fokus pada implementasi praktis dan dukungan terhadap inisiatif regional dan lokal menawarkan jalan ke depan untuk aksi iklim. Masa depan planet ini mungkin bergantung pada hal ini.